|
Ketua MUI Kota Samarinda |
SAMARINDA. Dugaan maraknya penjualan bakso yang mengandung daging babi,
langsung disikapi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Samarinda. Guna
mengatasi makanan yang rawan memancing gejolak Umat Muslim di Kota
Tepian, kepada Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dan beserta
jajarannya, MUI mendesak agar dapat menindak tegas kepada oknum pedagang
bakso yang nakal tersebut.
"Ketika mengetahui kabar penjualan daging bakso bercampur daging babi,
saya langsung menemui Wali Kota dan menyampaikan pernyataan dari MUI
Samarinda. Ini sekaligus desakan kepada Pemkot dan kepolisian, agar
dapat menindaklanjuti masalah ini hingga ke akar-akarnya. Kami minta
sanksi tegas kepada pedagang bakso yang nakal"," tegas Ketua MUI
Samarinda, KH Mohammad Zaini Na'im kepada Sapos kemarin.
Pernyataan itu dibuat lewat surat bernomor 87/MUI-SMD/C/XII/1434H/2012,
dengan perihal Pernyataan MUI Kota Samarinda Tentang Bakso yang Diduga
Bercampur dengan Daging Babi. Di surat tersebut, ada 5 poin yang
disampaikan. Yang pertama MUI meminta kepada masyarakat Samarinda agar
tetap bersikap tenang dan tidak mudah terprovokasi, apalagi berbuat
anarkis selama dugaan babi itu masih diselidiki. Selain itu, bagi
masyarakat yang sudah terlanjur atau tidak sengaja karena tidak tahu
telah mengkonsumsi bakso yang tercampur daging babi, secara hukum Islam
tidak dikenai sanksi dosa. Kendati demikian, kepada masyarakat diminta
agar lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi makanan yang diindikasikan
haram bagi Umat Muslim. Selanjutnya kepada para penjual makanan halal,
diimbau agar dapat mensertifikasi dengan label halal, sehingga
masyarakat khususnya umat Muslim di Samarinda mendapat jaminan untuk
terhindar dari makanan haram.
Untuk poin keempat, MUI meminta kepada jajaran Polresta Samarinda atau
penegak hukum lainnya, dapat memberikan tindakan tegas bagi pedagang
makanan yang dengan sengaja telah mencampur makanan halal dengan bahan
babi atau barang haram lainnya.
"Dan bagi pedagang makanan yang tidak sengaja menjual barang haram,
baik itu babi atau hewan yang haram dikonsumsi, maka sebaiknya diberi
pembinaan dari instansi terkait," urainya.
Adapun dasar hukum baik dari agama maupun perundangan, telah jelas
diatur untuk melindungi hak konsumen guna mendapatkan barang yang sesuai
dengan barang yang dijual. Untuk hal ini dinyatakan MUI di dalam poin
kelima surat yang diberikan.
Merujuk Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen, sesuai Pasal 10 telah mengatur para pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan
yang tidak benar atau menyesatkan. Sehingga sesuai aturan di dalam
Pasal 62 ayat 1, mereka yang mencampur daging babi harus dipidana
penjara 5 (lima) tahun atau pidana denda Rp 2 miliar.
Tidak hanya itu, sejumlah aturan dan sanksi dalam berusaha makanan juga
diatur di dalam UU RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 1 Huruf 5
pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Halal.
"Kami ingin aturan ini dapat ditegakkan," imbuhnya.
Memakan daging babi bagi umat Islam juga sudah dijelaskan melalui fatwa
Komisi MUI tentang Penetapan Produk Halal. Di mana di dalamnya, dengan
jelas menegaskan agar makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika dan
lain-lain yang akan dikonsumsi atau dipergunakan oleh umat Islam wajib
diperhatikan dan diyakini kehalalan dan kesuciannya.
Adapun beberapa jenis makanan (dan minuman) yang diharamkan, antara
lain bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama
selain Allah SWT, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk dan yang diterkam binatang buas dan hewan yang disembelih untuk
berhala.
"Ini sudah tertuang di dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 173, Al
Maidah ayat 3 dan Al Kahfi ayat 19. Bagi mereka yang masih melanggarnya,
maka akan mengalami kerugian dengan memiliki diri yang bisa berperilaku
liar, doa tidak terkabulkan, dan ibadah menjadi tidak khusyuk," pungkas
Zaini Naim. (air/upi)